Dahulu kala hiduplah seorang bapak dengan anaknya di sebuah hutan yang tak lebat, bapak itu akrab dipanggil dengan sebutan Mang Jakisa selain itu ia dikenal ulet dalam bekerja Sedangkan anaknya bernama Nang Kendo memiliki sifat kebalikan dari bapaknya. Karena berada di suatu tempat yang memang jauh dari keramaian, kota kebutuhan hidupnya pun tentu bergantung pada alam sekitar. Keseharian Mang Jakisa dan Nang adalah berkebun dan mencari hasil hutan untuk dapat dijual ke kota untuk ditukar dengan bahan makanan ataupun kebutuhan sehari-hari lainnya. Sepulang dari kebun sore itu Mang Jakisa berjalan sambil melihat sekeliling hutan sambil berfikir apa gerangan yang dapat dibawa ke kota, terkejutlah Mang Jakisa setelah melihat rimbunan pohon nangka ranum-ranum dengan baunya yang begitu menebar, senanglah hati Mang Jakisa dengan apa yang penemuanya itu, maka bergegaslah dia pulang untuk menceritakan penemuannya itu pada anaknya. "Nang, sepulang dari kebun tadi bapak melihat buah nangka semuanya masak-masak bagaimana kalau besok kita petik lalu kita bawa ke kota untuk ditukar?". "Baiklah Pak, kita berdua kesana, tapi siang apa pagi pak? Tanya Nang Kendo dengan nada lugunya. Mang Jakisa menjawab sambil menghela nafas "Ya Pagi-pagi Nang, karena jangan sampai nangka-nagka itu di makan binatang hutan”. Baiklah pak, besok pagi-pagi saya siap berangkat kesana, tapi tempatnya jauh ga Pak? Mang Jakisa kaget, dan kali ini dia menjawab sambil mengelus-elus dadanya. "Cukup deket nak.” jawab Mang Jakisa singkat dengan nada ketus lalu meningalkan Nang Kendo yang sedang makan.
Pagi-pagi Mang Jakisa sudah menunggu di depan pintu untuk siap berangkat memetik nagka yang kemarin di lihatnya. Cukup lama dia menunggu namun anaknya belum juga muncul hingga kesabarannyapun habis diapun memutuskan untuk memeriksa ke kamar anaknya, dan alangkah terkejutnya ketika dia masuk mendapati anaknya masih mendengkur dengan berselimutkan sarung, tanpa menunggu lama Mang Jakisa mengberak pintu kamar tersebut brak....brak..!! "Nang.... matahari sudah naik tinggi, ayo kita segera berangkat...!!”. Bukannya kaget dengan gebarakan pintu, malah Nang Kendo makin merapatkan selimut sarungnya hingga badannyapun ikut melingkar. Brag...brag... kembali suara pintu di gebrak Mang Jakisa dan kali ini lebih keras dari pertama. ”Hai Nang, cepet Bangun, jangan sampai telat dan kita harus berangkat sekarang,,.”. Kali ini Nang Kendo terbangun dan tersadar dari tidurnya namun belum juga mau bangun, "Ya pak, katanya deket nanti aja agak siang, atau bapak aja sendirian biar aku menyusul nanti”. Tanpa menunggu lebih lama Mang Jakisa langsung menarik selimutnya. "Hayo, bangun enggak..!! sudah siang nih...!!”. ”Iya ampun..., ampun pak, iya..., iya saya bangun dan ikut ke hutan”. Nampak suara Nang Kendo ketakutan sambil membuka selimutnya dan bergegas menuju ke bilik kecil yang berada di pinggir sungai untuk mandi. Mang Jakisa kembali mengelus-elus dadanya sambil geleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku anaknya itu. Tidak berapa lama Nang Kendo muncul sambil senyum-senyum seolah tak ada sesuatu yang terjadi dan langsung menghampiri bapaknya. "Baiklah, sekarang saya sudah siap, ayo kita berangkat pak,”. Kata Nang Kendo dengan yakin sambil membawa karung dan peralatan lainnya yang telah disiapkan Mang Jakisa.
Berjalanlah mereka menelusuri jalan setapak hutan yang cukup berliku bahkan tak jarang perjalanan mereka di penuhi jalanan bebatuan, Nang Kendo mulai meraba-raba perutnya bahkan sesekali matanya jelalatan tanda gelisah bahkan tak jarang dia melihat ke atas ke arah matahari yang semakin meninggi. ”Pak hari sudah semakin siang nih, kok belum sampai juga sih, katanya deket?, saya sudah ngantuk dan lapar pak...!!”. "Tenanglah Nang, itu sudah kelihatan kebunnya”. Kata sang bapak sambil menunjukkan kebunan nangka yang memang sudah kelihatan dari kejauhan itu. Dengan penuh lelah keduanyapun sampai juga di kebun nangka itu. Tanpa istirahat Mang Jakisa langsung menyiapkan alat yang akan digunakannya. ”Nang, bapak mau naik, tugas kamu adalah mengambil nangka-nangka yang akan bapak jatuhkan lalu memasukannya ke dalam karung ini....!!”. Kata sang bapak sambil menyodorkan kedua karung besar yang akan dijadikan wadah ”Baik pak, saya akan menuggu di sini, hati-hati pak”. Setelah dengan susah payah naik, sampailah Mang Jakisa di atas sana dan mulai memetik nangka-nangka tersebut. Demikian juga dengan Nang Kendo mulai memasukan satu persatu nangka tersebut ke dalam karung, namun perasaan kantuk dan laparnya kian tak terbendung, sesekali Nang Kendo menguap sambil memungut nangka-nangkanya dan satu karung telah penuh terisi, melihat satu karung yang masih kosong Nang Kendo berubah pikiran dalam hatinya menggumam ”Jika aku tidur di hutan, pasti aku bakal ditinggal oleh bapak , karena aku memang susah dibangunin, tapi kalau aku tidur dalam karung itu pasti aku akan dibawa pulang oleh bapak”. Tanpa fikir panjang Nang Kendo mulai melempar sebagian nangka-nangka tersebut ke semak-semak lalu menutupnya dengan dedaunan kering, setelah di rasa aman masuklah dia ke dalam karung dan mengikatnya sendiri dari lubang karung yang masih kosong itu, dan membiarkan karung satunya terbuka tanpa tali.
Sementara dari atas pohon, Mang Jakisa berteriak "Nang...., sudah penuh belum?”. "Dua lagi pak,...!! jawab Nang Kendo dari dalam karung. Mendengar jawaban itu Mang Jakisa kembali sibuk memilih nangka yang akan dipetik, dan tidak begitu lama nangka terakhirpun dijatuhkan, sambil menghela nafas kelelahan Mang Jakisa istirahat sejenak di atas pohon, "Nang, sebenarnya masih banyak nangkanya, tapi biarlah lain kali kita kembali lagi, sekarang kita siap-siap pulang". Kata Mang Jakisa dari atas pohon, karena tidak mendapat sahutan dari anaknya Mang Jakisapun berteriak sambil turun dari pohon tersebut "Nang...!! Nang...!!, di mana kamu?” di lihatnya sekeliling dan henti–hentinya memanggil anaknya, namun tak pernah ada jawaban hingga diapun berfikir Kendo sudah pulang karena lapar. Sementara di dalam karung Nang Kendo sudah pulas hingga tak mendengar sedikitpun teriakan bapaknya, sambil memungut dua nangka yang masih tergeletak lalu memasukkanya ke dalam karung yang belum diikat, sesaat dia tatap sekeliling sambil menyiapkan pikulan, saat dia mulai mengangkat bahunya untuk memikul, dia merasa kurang seimbang karena bebannya berat sebelah, namun Mang Jakisa tak curiga sedikitpun dengan karung tersebut karena dia merasa menjatuhkan nangka cukup banyak dan besar-besar, setelah mengatur jarak beban agar dipikul seimbang Mang Jakisapun mulai meninggalkan tempat itu, badannya terhuyung ke kanan dan ke kiri menelusuri jalan setapak hutan, sesekali dia berhenti untuk istirahat. Sambil melihat kedua karung yang dipikulnya, Mang Jakisa tersenyum karena dia membawa nangka cukup banyak, bahkan perasaan senangnya tak terbendung dengan beban yang dipikulnya itu cukup berat.
Dengan nafas ngos-ngosan akihrnya Mang Jakisapun sampai juga di rumah dan langsung memanggil-manggil anaknya untuk membongkar nangka yang masih di dalam karung, sambil memeriksa seisi rumahnya ”Nang... Nang...,! kembali usahanya tak membuahkan hasil Mang Jakisapun mulai membongkar nangka-nangka tersebut sendirian, satu persatu nangka mulai bergelundungan dari karung pertama yang ia bongkar, tangannya kembali meraih karung, namun karena berat Mang Jakisapun merobohkannya lalu membuka pengikatnya dengan mengangkat bagian bawah karung. karena nangka tak keluar juga, sementara tenaga kian habis mang Jakisapun menghentakan karungnya tinggi-tinggi dan brruaall....,, terkejutlah dia saat mengetahui apa yang keluar dari karung tersebut dan langsung memakinya ”Dasar anak kurang ajar anak stress, gento...!!, bukannya ngebantuin malah nyiksa...!! Jakisa sudah tua Nang...!!”. sementara Nang Kendo hanya duduk diam keheranan dengan apa yang terjadi ”Pak kok sudah pulang sih, perasaan cepet banget padahalkan jauh”. Ucapnya dengan nada polos. ”Waduuuuhhhhh...!! Kendo....!!! teriak Mang Jakisa yang berlari menuju ke belakang, dan tak lama Mang Jakisa kembali dengan membawa alu, melihat suatu ancaman Nang Kendo langsung lari ke dalam hutan, hingga terjadilah kejar-kejaran antara anak dan bapak. Mang Jakisa terus mengejar sambil memaki dan mencaci Nang Kendo. Namun karena tenaganya sudah melemah, Mang Jakisa pun jatuh tak sadarkan diri. Melihat bapaknya jatuh Nang Kendo terdiam dan tak lama ia menghampiri bapaknya dengan perasaan cemas kalau bapaknya kenapa-napa. Sambil mengendong bapaknya Nang kendo kembali pulang. Mang jakisapun sadar, dilihatnya dia sudah berada di balai tempat tidurnya. Sementara Nang Kendo sudah duduk di sampingnya ”Pak, Maafin aku yah, semua ini salahku....., ” belum sempat Nang Kendo melanjutkan katanya Mang Jakisa sudah memotongnya ”Sudahlah Nang, Bapak sudash maafin semua kesalahanmy hanya bapak meminta jangan kamu ulangi lagi perbuatan itu, sekarang, sana kamu mandi, lalu tidur, besok kita ke pasar menjual nangka-nangkanya, karena hari sebentar lagi gelap.
Segera Nang Kendo beranjak dari tempat duduknya. Sepeninggal Nang Kendo Mang Jakisapn mulai tertidur karena hari yang barusan dilalui terlalu melelahkan buatnya dan tersadar saat pagi mulai menyapanya. Sambil terbatuk-batuk Mang Jakisa memanggil Nang Kendo yang saat itu sudah bangun, ”Nang.. Nang... mungkin Bapak tidak bisa membawa nangka-nangka ini ke pasar, gimana kalau kamu saja yang menjualnya ke sana?”. Baiklah pak, mungkin bapak masih sakit, biar aku saja yang membawanya kesana bapak istirahat saja, nanti aku mandi dulu pak”. Senanglah hati Mang Jakisa dengan ucapan anaknya itu, namun pikirannya berubah saat melihat nangka-nangka masih belum dimasukan ke dalam karung. "Baiklah sambil menunggu kamu mandi bapak masukkin dulu nangka-nangkanya ke dalam karung biar lebih enak di pikulnya”. Setelah memasukan nangka ke satu karung Mang jakisapun masuk ke karung dengan cara sama persis seperti Nang Kendo yakni mengikat dari lubang karung yang memang bolong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar