Ismail Rank

Selasa, 25 Agustus 2009

MANG JAKISA & NANG KENDO

Dahulu kala hiduplah seorang bapak dengan anaknya di sebuah hutan yang tak lebat, bapak itu akrab dipanggil dengan sebutan Mang Jakisa selain itu ia dikenal ulet dalam bekerja Sedangkan anaknya bernama Nang Kendo memiliki sifat kebalikan dari bapaknya. Karena berada di suatu tempat yang memang jauh dari keramaian, kota kebutuhan hidupnya pun tentu bergantung pada alam sekitar. Keseharian Mang Jakisa dan Nang adalah berkebun dan mencari hasil hutan untuk dapat dijual ke kota untuk ditukar dengan bahan makanan ataupun kebutuhan sehari-hari lainnya. Sepulang dari kebun sore itu Mang Jakisa berjalan sambil melihat sekeliling hutan sambil berfikir apa gerangan yang dapat dibawa ke kota, terkejutlah Mang Jakisa setelah melihat rimbunan pohon nangka ranum-ranum dengan baunya yang begitu menebar, senanglah hati Mang Jakisa dengan apa yang penemuanya itu, maka bergegaslah dia pulang untuk menceritakan penemuannya itu pada anaknya. "Nang, sepulang dari kebun tadi bapak melihat buah nangka semuanya masak-masak bagaimana kalau besok kita petik lalu kita bawa ke kota untuk ditukar?". "Baiklah Pak, kita berdua kesana, tapi siang apa pagi pak? Tanya Nang Kendo dengan nada lugunya.

Mang Jakisa menjawab sambil menghela nafas "Ya Pagi-pagi Nang, karena jangan sampai nangka-nagka itu di makan binatang hutan”. Baiklah pak, besok pagi-pagi saya siap berangkat kesana, tapi tempatnya jauh ga Pak? Mang Jakisa kaget, dan kali ini dia menjawab sambil mengelus-elus dadanya. "Cukup deket nak.” jawab Mang Jakisa singkat dengan nada ketus lalu meningalkan Nang Kendo yang sedang makan.

Pagi-pagi Mang Jakisa sudah menunggu di depan pintu untuk siap berangkat memetik nagka yang kemarin di lihatnya. Cukup lama dia menunggu namun anaknya belum juga muncul hingga kesabarannyapun habis diapun memutuskan untuk memeriksa ke kamar anaknya, dan alangkah terkejutnya ketika dia masuk mendapati anaknya masih mendengkur dengan berselimutkan sarung, tanpa menunggu lama Mang Jakisa mengberak pintu kamar tersebut brak....brak..!! "Nang.... matahari sudah naik tinggi, ayo kita segera berangkat...!!”. Bukannya kaget dengan gebarakan pintu, malah Nang Kendo makin merapatkan selimut sarungnya hingga badannyapun ikut melingkar. Brag...brag... kembali suara pintu di gebrak Mang Jakisa dan kali ini lebih keras dari pertama. ”Hai Nang, cepet Bangun, jangan sampai telat dan kita harus berangkat sekarang,,.”. Kali ini Nang Kendo terbangun dan tersadar dari tidurnya namun belum juga mau bangun, "Ya pak, katanya deket nanti aja agak siang, atau bapak aja sendirian biar aku menyusul nanti”. Tanpa menunggu lebih lama Mang Jakisa langsung menarik selimutnya. "Hayo, bangun enggak..!! sudah siang nih...!!”. ”Iya ampun..., ampun pak, iya..., iya saya bangun dan ikut ke hutan”. Nampak suara Nang Kendo ketakutan sambil membuka selimutnya dan bergegas menuju ke bilik kecil yang berada di pinggir sungai untuk mandi. Mang Jakisa kembali mengelus-elus dadanya sambil geleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku anaknya itu. Tidak berapa lama Nang Kendo muncul sambil senyum-senyum seolah tak ada sesuatu yang terjadi dan langsung menghampiri bapaknya. "Baiklah, sekarang saya sudah siap, ayo kita berangkat pak,”. Kata Nang Kendo dengan yakin sambil membawa karung dan peralatan lainnya yang telah disiapkan Mang Jakisa.

Berjalanlah mereka menelusuri jalan setapak hutan yang cukup berliku bahkan tak jarang perjalanan mereka di penuhi jalanan bebatuan, Nang Kendo mulai meraba-raba perutnya bahkan sesekali matanya jelalatan tanda gelisah bahkan tak jarang dia melihat ke atas ke arah matahari yang semakin meninggi. ”Pak hari sudah semakin siang nih, kok belum sampai juga sih, katanya deket?, saya sudah ngantuk dan lapar pak...!!”. "Tenanglah Nang, itu sudah kelihatan kebunnya”. Kata sang bapak sambil menunjukkan kebunan nangka yang memang sudah kelihatan dari kejauhan itu. Dengan penuh lelah keduanyapun sampai juga di kebun nangka itu. Tanpa istirahat Mang Jakisa langsung menyiapkan alat yang akan digunakannya. ”Nang, bapak mau naik, tugas kamu adalah mengambil nangka-nangka yang akan bapak jatuhkan lalu memasukannya ke dalam karung ini....!!”. Kata sang bapak sambil menyodorkan kedua karung besar yang akan dijadikan wadah ”Baik pak, saya akan menuggu di sini, hati-hati pak”. Setelah dengan susah payah naik, sampailah Mang Jakisa di atas sana dan mulai memetik nangka-nangka tersebut. Demikian juga dengan Nang Kendo mulai memasukan satu persatu nangka tersebut ke dalam karung, namun perasaan kantuk dan laparnya kian tak terbendung, sesekali Nang Kendo menguap sambil memungut nangka-nangkanya dan satu karung telah penuh terisi, melihat satu karung yang masih kosong Nang Kendo berubah pikiran dalam hatinya menggumam ”Jika aku tidur di hutan, pasti aku bakal ditinggal oleh bapak , karena aku memang susah dibangunin, tapi kalau aku tidur dalam karung itu pasti aku akan dibawa pulang oleh bapak”. Tanpa fikir panjang Nang Kendo mulai melempar sebagian nangka-nangka tersebut ke semak-semak lalu menutupnya dengan dedaunan kering, setelah di rasa aman masuklah dia ke dalam karung dan mengikatnya sendiri dari lubang karung yang masih kosong itu, dan membiarkan karung satunya terbuka tanpa tali.

Sementara dari atas pohon, Mang Jakisa berteriak "Nang...., sudah penuh belum?”. "Dua lagi pak,...!! jawab Nang Kendo dari dalam karung. Mendengar jawaban itu Mang Jakisa kembali sibuk memilih nangka yang akan dipetik, dan tidak begitu lama nangka terakhirpun dijatuhkan, sambil menghela nafas kelelahan Mang Jakisa istirahat sejenak di atas pohon, "Nang, sebenarnya masih banyak nangkanya, tapi biarlah lain kali kita kembali lagi, sekarang kita siap-siap pulang". Kata Mang Jakisa dari atas pohon, karena tidak mendapat sahutan dari anaknya Mang Jakisapun berteriak sambil turun dari pohon tersebut "Nang...!! Nang...!!, di mana kamu?” di lihatnya sekeliling dan henti–hentinya memanggil anaknya, namun tak pernah ada jawaban hingga diapun berfikir Kendo sudah pulang karena lapar. Sementara di dalam karung Nang Kendo sudah pulas hingga tak mendengar sedikitpun teriakan bapaknya, sambil memungut dua nangka yang masih tergeletak lalu memasukkanya ke dalam karung yang belum diikat, sesaat dia tatap sekeliling sambil menyiapkan pikulan, saat dia mulai mengangkat bahunya untuk memikul, dia merasa kurang seimbang karena bebannya berat sebelah, namun Mang Jakisa tak curiga sedikitpun dengan karung tersebut karena dia merasa menjatuhkan nangka cukup banyak dan besar-besar, setelah mengatur jarak beban agar dipikul seimbang Mang Jakisapun mulai meninggalkan tempat itu, badannya terhuyung ke kanan dan ke kiri menelusuri jalan setapak hutan, sesekali dia berhenti untuk istirahat. Sambil melihat kedua karung yang dipikulnya, Mang Jakisa tersenyum karena dia membawa nangka cukup banyak, bahkan perasaan senangnya tak terbendung dengan beban yang dipikulnya itu cukup berat.

Dengan nafas ngos-ngosan akihrnya Mang Jakisapun sampai juga di rumah dan langsung memanggil-manggil anaknya untuk membongkar nangka yang masih di dalam karung, sambil memeriksa seisi rumahnya ”Nang... Nang...,! kembali usahanya tak membuahkan hasil Mang Jakisapun mulai membongkar nangka-nangka tersebut sendirian, satu persatu nangka mulai bergelundungan dari karung pertama yang ia bongkar, tangannya kembali meraih karung, namun karena berat Mang Jakisapun merobohkannya lalu membuka pengikatnya dengan mengangkat bagian bawah karung. karena nangka tak keluar juga, sementara tenaga kian habis mang Jakisapun menghentakan karungnya tinggi-tinggi dan brruaall....,, terkejutlah dia saat mengetahui apa yang keluar dari karung tersebut dan langsung memakinya ”Dasar anak kurang ajar anak stress, gento...!!, bukannya ngebantuin malah nyiksa...!! Jakisa sudah tua Nang...!!”. sementara Nang Kendo hanya duduk diam keheranan dengan apa yang terjadi ”Pak kok sudah pulang sih, perasaan cepet banget padahalkan jauh”. Ucapnya dengan nada polos. ”Waduuuuhhhhh...!! Kendo....!!! teriak Mang Jakisa yang berlari menuju ke belakang, dan tak lama Mang Jakisa kembali dengan membawa alu, melihat suatu ancaman Nang Kendo langsung lari ke dalam hutan, hingga terjadilah kejar-kejaran antara anak dan bapak. Mang Jakisa terus mengejar sambil memaki dan mencaci Nang Kendo. Namun karena tenaganya sudah melemah, Mang Jakisa pun jatuh tak sadarkan diri. Melihat bapaknya jatuh Nang Kendo terdiam dan tak lama ia menghampiri bapaknya dengan perasaan cemas kalau bapaknya kenapa-napa. Sambil mengendong bapaknya Nang kendo kembali pulang. Mang jakisapun sadar, dilihatnya dia sudah berada di balai tempat tidurnya. Sementara Nang Kendo sudah duduk di sampingnya ”Pak, Maafin aku yah, semua ini salahku....., ” belum sempat Nang Kendo melanjutkan katanya Mang Jakisa sudah memotongnya ”Sudahlah Nang, Bapak sudash maafin semua kesalahanmy hanya bapak meminta jangan kamu ulangi lagi perbuatan itu, sekarang, sana kamu mandi, lalu tidur, besok kita ke pasar menjual nangka-nangkanya, karena hari sebentar lagi gelap.

Segera Nang Kendo beranjak dari tempat duduknya. Sepeninggal Nang Kendo Mang Jakisapn mulai tertidur karena hari yang barusan dilalui terlalu melelahkan buatnya dan tersadar saat pagi mulai menyapanya. Sambil terbatuk-batuk Mang Jakisa memanggil Nang Kendo yang saat itu sudah bangun, ”Nang.. Nang... mungkin Bapak tidak bisa membawa nangka-nangka ini ke pasar, gimana kalau kamu saja yang menjualnya ke sana?”. Baiklah pak, mungkin bapak masih sakit, biar aku saja yang membawanya kesana bapak istirahat saja, nanti aku mandi dulu pak”. Senanglah hati Mang Jakisa dengan ucapan anaknya itu, namun pikirannya berubah saat melihat nangka-nangka masih belum dimasukan ke dalam karung. "Baiklah sambil menunggu kamu mandi bapak masukkin dulu nangka-nangkanya ke dalam karung biar lebih enak di pikulnya”. Setelah memasukan nangka ke satu karung Mang jakisapun masuk ke karung dengan cara sama persis seperti Nang Kendo yakni mengikat dari lubang karung yang memang bolong.

Tak lama Nang Kendopun datang, namun dilihat bapaknya gak ada ”Pak,... Bapak... di mana? Teriak nang kendo yang sudah berada di biilik kamar. Dia menghampiri karung-karung tersebut dan bersiap untuk dipikulnya. Namun kagetlah dia saat beratnya tak seimbang, Nang Kendo mengerti dengan apa yang ada di dalamnya, dalam hatinya menggumam ”Nah... kini bapaku dendam, dan mau membalas ulahku kemaren”. Namun Nang kendo pura-pura tak mengerti dengan isi dalam karung tersebut. Sambil berteriak pura-pura tidak tau Nang Kendo pamit ”Pak.., aku berangkat Pak...!!” sementara dari dalam karung Mang Jakisa hanya terdiam dan tersenyum, ”Nah.. sekarang rasain gimana capenya mikul, dan enaknya di gendong”. Dengan mengatur posisi pikulan, Nang Kendo mengangkatnya dan menaruh karung nangka di bagian belakang sementara karung yang berisi Mang Jakisa ia taruh di depan, Sambil menabrakan karungnya ke daun pintu keras-keras Nang Kendo keluar dari rumah. Mang Jakisapun kesakitan saat tubuhnya di benturin, namun dia tidak mau menyerah, karena Mang Jakisa fikir anaknya tidak tahu kalau dia berada di dalam karung. Nang Kendo pun berjalan menuju pasar, namun rasa lelahnya tak tertahankan. Setelah melewati perkampungan diapun langsung menjatuhkan karung-karungnya, seolah ada lawan bicaranya Nang Kendo membuka suaranya. ”Waduh panas banget nih, aku istirahat dulu ahh..., dan supaya getahnya meleleh nangkanya biar aku jemur dulu”. Ucap Nang Kendo sambil menarik karung-karungnya di bebatuan dan menjemurnya. Mang Jakisa kian kesakitan, bahkan saat dijemur dia merasakan panasnya berada di dalam karung, namun rasa malunya mengalahkan rasa sakita yang dia rasakan dan untuk kesekian kalinya Mang Jakisa tak mau menyerah. Beda dengan Nang Kendo yang hanya tersenyum melihat dari kejauhan ulah bapaknya itu. Setelah dirasa cukup dengan istirahatnya Nang Kendopun melanjutkan perjalanannya, sesekali ditabrakannya karung yang di depan ke sebuah pohon besar ”Biar getahnya pada hilang, aku tabrakin dulu ahh.. ke pohon”. Kembali Mang Jakisa menahan rintihannya dari dalam karung. ”Setelah cukup lama dengan perjalanan Nang kendopun sampai di pasar, ”Akhirnya aku sampai juga, baiknya sebalum kujual kurendam dulu nangka-nangka ini biar seger” diapun segera menuju ke sungai yang memang tak jauh dari pasar itu. Dengan menyelupkan karungnya, dan membiarkan beberapa saat berada dalam air. Tentu saja Mang Jakisa yang berada dalam karung kelojotan tak bisa bernafas, saat muncul buih-buih dari dalam karung, Nang Kendopun mengangkat karung tersebut karena Nang Kendo yakin buih-buih itu nafas bapaknya yang dibarengi dengan bergeraknya karung kuat-kuat tanda Mang Jakisa yang kelojotan di dalam karung, namun hal dia lakukan berulang-ulang kali. Karena tak kunjung juga bapaknya menyerah, Nang Kendopun mengelundungkan karung-karung ke jalan bebatuan. Namun hasilnya sama Bapaknya tak mau juga menyerah. Sementara Mang Jakisa makin merasa sakit, namun rasa malu untuk menyerah masih bertahan dan mengalahkan rasa sakitnya. Dengan manarik karung-karung itu Nang Kendo langsung menghampiri penjual nangka yang hanya beberapa meter dari sungai itu. ”Dan kembali dibenturkannya karung tersebut pada kaki balai untuk yang terakhir kalinya, lalu diapun langsung menjajakan nangka-nangkanya. ”Ayo Nangka..., nangka...., wangi, seger... masih baru Pak, Bu...” teriak Nang Kendo memeberikan penawaran pada pengunjung pasar. Karena berteriak penuh semangat, tak ayal beberpa orangpun mengerumuni Nang Kendo dan karung-karungnya tersebut untuk ngebeli nangka, namun ada diantaranya yang hanya melihat-lihat saja termasuk Kepala Dusun yang kebetulan hari itu berada di pasar ”Bagus-bagus enggak nih nangkanya..?”. Tanya pak Kadus memberi suara.” ”Yah dipilih aja Pak..!”. Jawab Nang kendo membuka karung yang berisi Nangka tersebut, ”Kalau yang itu sama juga Nangka?”. tanya seorang ibu-ibu yang hendak membeli. ”Iya Bu, ini juga berisi nangka”. Kata Nang Kendo sambil mengangkat tingi-tinggi karungnya dan terkejutlah semua yang ada di situ dengan apa yang keluar dari dalam karung. ”loh kok, kenapa Bapak masuk ke karung..? tanya Nang Kendo, dengan nada pura-pura keheranan. ”Wahh... kepalanya sampai pada benjol gitu, bahkan berdarah”. Ucap seorang ibu yang tadi sedang memilih nangka. ”Wah Kalau kaya gini namanya penyiksaan...”. kata Pak kadus dengan lantangnya, hingga makin ramailah Nang Kendo dikerumuni. ”Kenapa kamu tega memperlakukan bapakmu seperti ini Nang?”. Tanya Pak Kadus. ”Em...aku...aku.. enggak tau Pak, masalahnya aku fikir ini nangka, bahkan pagi tadi bapaku sendiri yang bilang, dia enggak bisa menjual nengka-nangka ini, lalu menyuruh aku yang menjualnya, tanyain aja sama Bapak kenapa malah masuk ke dalam karung..!!?”. Pak Kaduspun menghampiri Mang Jakisa yang saat itu masih kesakitan sekujur tubuhnya memar-memar dan bibirnya bengkak bahkan dibeberapa bagian nampak kulitnya lecet dan berdarah. ”Hai Jakisa, apa benar apa yang Nang Kendo ceritakan tadi..?. tannya Pak Kadus yang memang sudah lama mengenal keduanya. ”ee...ee...benar pak kadus”. ”Lalu ngapain sampean masuk ke dalam karung, hingga sampean pada benjol-benjol gitu kepalanya, karena anakmu itu memang enggak tahu kalau kamu ada di dalam karung, ada ada saja sampean ini kurang kerjaan yah?”. Dengan perasan malu Mang Jakisa hanya terdiam tak bisa menjawab, belum lagi makin banyaknya orang yang mengerumuni tempat itu untuk mencari tau gerangan yang terjadi, bahkan ada di ataranya yang mengolok-olok Mang Jakisa, ”Huh...., dasar... Mang JaKisa, aneh-aneh aja kerjaannya, enggak kasian sama anak, sukurin tuh bibirnya sampe doer gitu”. Semetara Nang Kendo menghampiri keduanya ”Sudahlah Pak Kadus, enggak apa-apa kok, lagian akunya juga kuat kok memikul beban tadi”. Sudahlah, Pak Bu, mungkin bapakku lagi pengen di gendong”. Mendengar ucapan Nang Kendo semua yang ada di situ tertawa bercampur kasihan melihat tingkah keduanya, hingga merekapun jadi membeli termasuk pak Kadus. ”Ya udah sekarang aku beli nangka-nangkanya sekalian buat tambahan buat berobat bapakmu itu” Ucap Pak Kadus sambil memberikan uang pada Nang Kendo. Namun seorang ibu-ibu yang tadi memilih nangka memperhatikan penuh iba pada Nang Kendo dan Mang Jakisa, setelah sepi ibu itu menghampirinya, ”Nang... kamu dan bapakmu kerjanya apa? ”emm.., kami..., kami biasa kerja di kebun bu, tapi bukan punya sendiri sih...!! jawab Nang Kendo polos. ”Nah... Kebetulan Ibu punya beberapa kebun, tapi enggak ada yang ngurus, gimana kalau Nang kendo aja sama Mang Jakisa yang ngurus kebun-kebun itu masalah pembagian biar kalian ambil tigaperempat dari hasilnya, untuk masalah biaya pengurusan biar ibu yang nanggung, gimana,? yah ini sih kalau kalian mau?”. ”Oh.. mau banget bu, terimaksih bu, kapan kami bisa mulai bekerja bu?”. tanya Nang Kendo penasaran sambil garuk-garuk kepalanya. ”Kapanpun kalian siap, bisa kok”. ”Baiklah bu, kami besok bisa mulainya karena sekarang kami harus pulang, sekaligus menyiapkan apa yang harus kami bawa nanti, belum lagi bapak membutuhkan perawatan”. ”Baiklah, ibu percaya dengan dengan kalian, semoga kalian memang orang-orang yang jujur, ohh iya ini buat bertobat Bapakmu, kata seorang ibu lalu menutup pembicaraanya seraya memberikan lembaran uang pada Nang Kendo. ”Oh... terimaksih bu terimakasih..., ucap Nang kendo menerima dengan terharu. Setelah ibu itu berlalu Mang Jakisa dan Nang Kendo kegirangan, ”Alhamdulillah... hari ini kita dapat rizki banyak bahkan dapat kerjaan yang lebih baik Nang”. ”Iya Pak, aku senang banget nih, maafin Nang Kendo yach Pak...,”. Mendengar ucapan itu Mang Jakisa Sadar, dengan apa yang sempat menimpanya saat berada dalam karung, ”Dasar, anak kurang ajar, kamu yang sebenarnya menyiksa Bapak, mungkin beberapa menit lagi bapak bisa mati di rendam lalu dijemur, rendam lagi jemur lagi di benturin lagi...sakiiit Nang”. Ucap Mang Jakisa merintih. ”Yah aku kan enggak tau kalau ada Bapak di dalam karung itu”. ”Yah... pura-pura enggak tahu, bapak juga ngerti Nang, buktinya saat direndam dalam air bapak sudah engga kuat nahan napas, kamu tarik lagi karungnya, lalu rendam lagi... tadinya bapak mau ampun tapi bapak malu Nang, karena bapak memang dendam dan masih kesel dengan ulahmu kemarin itu”. Mendengar penjelasan bapaknya Nang Kendo tertawa terbahak-bahak, melihat Nang Kendo duduk di depannya terbahak-bahak Mang Jakisa geram, dilihatnya Nang Kendo, namun tak lama Mang Jakisapun membuka tawanya dengan lebih kencang terpingkal-pingkal sambil memegangi kepalanya yang pada benjol akibat benturan, ”hah...haa..hah... Sudahlah Nang ini semua salah Bapak juga sih..”., sekarang kita pulang yuk...!!” Ajak Mang Jakisa pada anaknya sambil tertawa terbatuk-terbatuk. Tanpa memperdulikan sekitar yang mulai gelengkan kepala melihat tingkah keduanya. Mang Jakisa dan Nang Kendo pun berlalu.
TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar