Ismail Rank

Selasa, 25 Agustus 2009

AIRMATA DI ATAS SAJADDAH

AIRMATA DI ATAS SAJADDAH

Dia bagai angin yang meliuk-liuk di antara daun-daun, menembus tubuhnya yang kerontang yang tergeletak antara emperan-emperan itu.

Mayat-mayat hidup, itulah korban syetan berwujud manusia. Raksasa buatan manusia hilir mudik menjajali kota dengan racun hingga kerongga-rongga dada. Aeniah hanya terdiam bak barang antik yang ada dalam musium. Khayalnya sibuk menimbang nasib hari esok. ”Malam ini aku bisa hidup, namun esok aku masuk daftar pengangguran”.

Sedang asik Aeniah melamun sambil memakan cemilan di jalan yang tidak begitu sepi itu tiba-tiba dari arah kiri

seorang pemuda menabraknya, Aeniah langsung melabrak pemuda itu ”Hai, matamu ditaruh di mana.....!!?” ”Oh...maaf mbak aku enggak sengaja...!” jawab sang pemuda dengan serius., namun kaki pemuda itu masih menginjak cemilan yang Aeniah makan tadi. ”Udah jalan enggak pakai mata, kakimu itu malah nginjek makananku sekarang, trus sekarang apa yang harus aku makan haah,?” Pemuda itu kembali meminta maaf. Namun Aeniyah masih geram melihatnya ”Kau sudah gila yah?” ”Entahlah aku bingung Mbak, be.., be.. bentar ya Mbak, aku ke warung dulu,....!”. Jawab pemuda itu singkat. sesaat pemuda itu meninggalkan dan berlalu mencari makanan, dan kembali dengan sebotol air mineral dan sepotong roti, dan langsung menyodorkan pada gadis itu sambil membuka suaranya ”Mbak baru berhenti kerja yah.....?” tanyanya yang saat itu duduk di hadapannya. ”Dari mana kau tahu?” ”Tentu saja dari emosi dan muka Mbak yang kusut gitu....!” Jawab sang pemuda dengan tersenyum. ”Tunggu sebentar, kamu siapa trus bisa tau tentang aku dari mana?” ”Aku Syahrial.... aku hanya iseng bertanya tadi, aku sebenarnya habis main ke teman di Tanah Abang sambil jalan-jalan dari pada di rumah suntuk,.... dan sekarang aku mau pulang, tapi alhamdulillah aku bisa bertemu dengan Mbak”. Aeniyah langsung menggangguk. "Ohh... begitu yach,? Aku Aeniyah...!, kamu engga bekerja? ”Enggak aku sebenarnya main ke teman mau minta pekerjaan, tapi belum ada lowongan, terus mbak sendiri lagi ngapain di sini?”. ”Aku sedang mencari jati diri” lalu Syahrial tertawa mendengar alasan gadis itu, namun gemuruh mesin bus memecah tawanya. Sesaat Syahrial terdiam ”Maaf aku harus lanjutin perjalanan ini dan karena bus sudah ada, kita berpisah sekarang, semoga kita masih dipertemukan di lain hari”. ”Hai tunggu.... kampungmu di mana, terus boleh enggak aku ikut ?” ”Hah... enggak salah dengar neh, kampungku jauh, di Indramayu sana, enggak ah...! kata Syahrial menolak Aeniyah ikut serta, sementara dia langsung naik ke bus sambil berlari-lari kecil dan tanpa Syahrial sadari Aeniyahpun berlari juga mengikutinya.

Sesampai di dalam mobil Syahrialpun kaget ”Ya Allah.....kamu kok ada di sini?”. ”Iyah sengaja aku kejar kamu, dan ikut ke Indramayu, Mas Syahrial apa mau menjadi pendengar setiaku?” Mendengar perntanyaan itu Syahrial mengangguk namun dia masih menyimpan tanya gerangan gadis aneh yang mengikutinya itu. Sesaat Syahrial menatap Aeniyah yang saat itu sedang membayar ongkos pada kondektur. Syahrialpun mengerti dengan gadis yang baru dikenalnya itu Hingga akhirnya merekapun sebangku lalu Aeniyah bercerita bahwasanya ia telah kabur dari rumah. Orang tuanya sibuk dengan bisnis dan teman-temannya hanya ingin berteman dengan hartanya semata.

Malam kian membelai mimpi, gerimispun menghiasi gulitanya malam dan angin laksana prajurit perang yang gagah menantang. 4 jam perjalanan menuju ke Indramayu, sampailah akhirnya perjalanan mereka. Di sebuah simpang tiga Syahrial langsung turun yang diikuti Aeniyah.

Sampailah aku pada kerinduan yang kutuju

dan apakah kamu tetap bersih keras

untuk tetap ikut denganku,

Aeniyah kagum dengan tutur kata Syahrial yang bagai penyair itu. dia mengangguk, mengiyakan pertanyaan Syahrial tadi. ”Yuk sekarang kita ke pasar nyari sarapan, kalau jam segini pasar di sini sudah ramai”. Ajak Syahrial pada Aeniyah. ”Yuk, aku juga udah laper lagi nih..”. Merekapun meninggalkan simpang tiga itu menuju ke pasar mencari sarapan. Dengan semangkuk bubur ayam Syarial makan dengan tenangnya, lain dengan Aeniyah yang bingtung, ”Kenapa gak dimakan, ayo makan katanya sudah laper”? ”em..emm tempatmu ramai juga yah, aku belum biasa aja ada ditempat kaya gini, mana banyak orang berlalu-lalang, malu aku buat makan”. ”Ha ha ha..., orang kaya gitu loh, biasa makan restoran dengan ramainya gemerlap mall, ku ngerti kok, ya sudah sekarang kamu belajar beradaptasi dengan lingkungan di sini, inilah kampungku yang mungkin membuatmu kaget, ayo dimakan buburnya dan bersikap seolah-olah sudah biasa”. Sesaat Aeniyah menatap Syahrial, lalu mengangguk dan memakan sarapan yang dari tadi hanya dipengangnya. Sedang asik mereka menyantap sarapan Adzan subuh berkumandang ”Ayo kita sholat...!!” ajak Syahrial” "Aku......emm...aku...” ”Kalau begitu aku sholat dulu, dan kamu tetap di sini Syahrial masuk ke masjid, mengawali hidup menghadap-Nya sebelum fajar menyingsing di ufuk timur. Sepeninggal Syahrial Aeniyah kian bingung, bahkan perasaannya kian takut kalau-kalau dirinya ditinggalin begitu saja, perasaan Aeniyah kian kikuk dengan orang-orang yang menatapnya, Maklum Aeniyah masih mengenakan pakaian bagus. ”Aduuh, semuanya menatapku aneh, ya Tuhan tolonglah aku... kenapa aku jadi bodoh gini ikut sama pemuda yang baru aku kenal, malah sudah sampe sini dia ninggalin begitu saja, kenapa tadi aku enggak ikut dengannya ke masjid, ohh.. aku emang bodoh... ”. Aeniyah memaki dirnya sendiri. Sedang sibuk mata Aeniyah dengan suasana pasar pada subuh hari itu, nampak pandangannya tertuju pada sosok pemuda yang menuju kearahnya. ”Oh...syukurlah aku kira mas tak datang lagi...”. ”Maksudmu aku ninggalin kamu gitu, ya enggaklah,... ayo sekarang kita ke rumah,?” Setelah membayar bubur, keduanyapun berjalan menelusuri jalan trotoar lalu membelok di gang yanhg tak begitu sempit Syahrial dan Aeniah sampai di rumah, keluarganya menyambut dengan baik. Syahrial mengenalkan Aeniyah pada keluarganya. ”Ini Aeniah, ia temanku dan ia datang kemari untuk belajar agama di pesantren”. Ungkap Syahrial yang memang masih menutupi. Aeniyah mengangguk, ”em..e... Iyah Pak, Bu saya Aeniyah, saya ingin belajar ilmu agama”. Kini seluruh keluarga berbicara dan merasa senang dengan Aeniyah. ”Baiklah Aeniyah aku ke kamarku dulu, mau naruh tas ini, gampang nanti kita ngobrol-gobrol lagi, dan sedang disiapkan sama ibu kamar buat kamu, ”Terimakasih Mas, biar aku di sini saja dulu., sambil menikmati segarnya udara pagi”. Jawab Aeniyah yang mulai senang dengan suasana di situ.

Alam pikiran beterbangan bak kunang-kunang hingga kokok ayam bertalu-talu. Saat embun bersatu dengan bumi, seperti biasa Ibu Sitti telah siap ke pasar ”Nak Aeniyah sini nak,....!!”. Panggil ibu Siti pada Eniyah. ”Iya Bu....”. ”Ini kamarmu, yah cuma kaya gini kamar buat Nak Aeniyah, enggak ada apa-apa, cuma ada hiasan kaligrafi yang nak Syahrial buat aja, tuh..”. Ucap Ibu Siti sambil terseyum. ”Terimaksih bu, Enggak apa-apa kok bu, Aeniyah enggak enak nih, jadi ngrepotin ibu dan semuanya”. ”Engga kok, sekarang Aeniyah istirahat saja dulu, ibu mau ke pasar membeli kebutuhan sehari-hari”. ”hati-hati yah bu, em.. Kalau mas Syahrial di mana ?” ”Pagi-pagi gini biasanya dia ada di kamar biasanya ngaji”. ”Terima kasih bu”.

Setelah ibu Siti berlalu meninggalkannya, sambil memasuki kamar yang sederhana itu tertegunlah Aeniyah dengan kaligrafi yang sempat ibu Siti tunjukkan tadi, di tatapnya kaligrafi itu, hatinya mulai memuji ”Rapih banget bikinannya, tapi di bacanya apa nih, aku memang enggak ngerti, yah itulah aku yang emang bodoh, yah semoga saja di sini aku bisa belajar lebihj baik, terimakasih Tuhan aku enggak salah mengikuti orang”.

Sementara itu Syahrial yang sudah selelsai dengan mengajinya, sedang berbicara dengan Aminah di teras belakang rumah yang penuh dengan bunga. ”Mas dia itu siapa ?” tanya Aminah pada Syahrial. ”Temanku” ”Aku tidak percaya....!!, Mas pasti menyukainya kan?”. Syahrial hanya diam ”Kenapa Mas diam, aku suka pada Mas !”. ”Aku juga suka padamu” ”Kenapa Mas masih membawa gadis itu?”. ”Dia adalah temanku, dan aku menyukaimu sebagai adik”. Sedang asik mereka bersilang pendapat, tiba-tiba Aeniyah datangt, segera Aminah berlalu sambil menyibakkan kerudungnya dengan matanya yang berkaca-kaca. ”Kenapa dia menangis”? Tanya Aeniyah yang belum mengerti dengan Aminah. ”oh...enggak apa-apa, dia hanya lagi sedih saja”. “Oh... kiraen ada apaan?”.

Padang rumput begitu lengang, luas dan lapang,

cerahnya hari dengan Indahnya malam

Oh... sungguh tak kusangka besok aku harus masuk pesantren”

Tutur Aeniyah menirukan gaya Syahrial. ”Kenapa kamu mau? aku kan hanya bercanda... dan menutupi keadaan karena aku enggak ingin keluargaku menyimpan curiga yang bukan-bukan terhadap kamu”. Kata Syahrial. ”Sebenarnya telah lama aku mencari suasana seperti ini dan aku ingin mencari ilmu agama, itu sebenarnya betul, dan aku juga ingin mencari jati diri”. Jawab Aeniyah memperjelas. ”Syahrial langsung memotongnya dengan kata singkat ”Jati diri hanya ada dalam suatu kepribadian Sementara pembicaraan itu berlanjut, adzan dzuhur bertalu-talu. ”Mari kita sholat” ”Aku tak bisa sholat” ”Insya Allah aku akan ajari kamu” ”Baiklah”.

Dewi malam telah memejamkan matanya sehingga tabir dan waktu kian tersibak hingga tak terasa sudah berhari-hari Aeniah mempelajari Islam di pesantren, saat para santri termasuk Syahrial pergi memetik buah ranum di kebun yang memang milik pesantren, dia langsung menghampiri Aeniyah yang turut juga dalam acara itu. ”Aeniyah.., sudah berapa hari kamu di sini ?” ”tiga bulan Mas” ”Apa kamu tidak rindu pada orang tuamu?” ”Yah rindu juga sih, tapi mereka sudah aku kabarin Mas!”. ”Syukurlah kalau begitu, yuk kita sudah banyak memetik buah-buahan ini sekarang kita kembali !!”. Mereka kembali ke pesantren, di sana orang tua Aeniah datang. ”Aeniah anakku” jerit Ibu Maharani ”Anakku mari kita pulang” tambah bapak Wijaya ”Orang tuamu menjemputmu Niah, pulanglah ”Kata Ustadz Mughni ”Aku masih ingin di sini, nanti aku menyusul Papa dan Mama pulang aja, dan Insya Allah minggu depan Niyah pulang” karena tidak berhasil membawa anaknya pulang Ibu Maharani dan Bapak Wijaya terpaksa pulang tanpa membawa hasil. ”Baiklah kami pamit, kami percaya kalau Aeniyah di sini”.

Udara pagi itu begitu sesak terasa oleh Syahrial. Selesai sholat subuh, Aeniyah menyiapkan semua bekal untuk perjalananya. Syahrial ingat akan mengantar Aeniah ke Jakarta. Kemudian mereka berangkat ”Nak Aeniah datanglah kemari sesekali, pintu rumah kami akan selalu terbuka untukmu” ”Terima kasih, Bu” ”Kami pergi Bu, Pak” ”Jangan lupa sholat” Pesan ibu Sitti pada Aeniyah. Mereka naik becak dan melambaikan tangan hingga kelokan jalan. Sampai di Simpang Tiga, mereka naik bus Madona ke Jakarta. ”Jika nanti di Jakarta apa yang Mas Lakukan” ”Entahlah, oh ya jangan lupa sholat..!!” ”Saya akan coba untuk terus menegakkan sholat Mas” ”Alhamdulillah,....!” Bus terus melaju di jalanan. ”O yah mas.... sebagai kenang-kenangan boleh enggak aku minta Mas lantunkan puisi atau apa saja” Syahrial berfikir dan menyetujuinya.

Syairku sebarkan antara burung-burung camar

Yang menegakkan sayap antara dua samudra

Ku dendangkan syair antara angin-angin

Yang membelai daun-daun pinggir jalan

”Puisi Mas bagus sekali” ”Terima kasih” Karena mereka merasa lelah merekapun akhirnya tertidur di mobil hingga perjalanan usai merekapun terbangun. Kini sampailah keduanya di rumah tujuan. Syahrial tinggal di rumah Aeniyah beberapa hari lamanya, dan kadang dia melamar kerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya namun hasilnya masih belum memuaskan.

Pagi masih menyelimuti langit yang biru di angkasa sana begitu terang dan bulan menampakan wajah kemalu-maluan. Selesai sholat subuh seperti biasa Syahrial berolah raga dan hari ini Syahrial ingin melamar pekerjaan di restoran, ia diterima. Dan tinggal di sebuah kontrakan yang tak jauh restoran itu. Dua bulan tak terasa Syahrial telah bekerja di restoran itu. Tak sengaja pandang, ia melihat Aeniah. Aeniah melihat Syahrial sedang sibuk, maka Aeniah mengirim pesan lewat secarik kertas memo, yang biasa ada di atas meja

Lama tak bersua, kita memang takdir. Walau berpesan pada sayap camar, walau bermemo pada gelombang samudera namun tak sampai. Hanya satu sibakkan mata, tersalur jua. Dalam raja siang memejam mata, diremaja bersua.

Hilanglah Rindu yang lama membelenggu, aku tunggu Mas sehabis Magrib di depan restoran ini

Wassalam

Aeniyah

Jam kerja berakhir, Syahrial menemui Aeniah, gadis itu memancing senyum ”Mas apa kabar ?” ”Baik, oya gimana kabar keluargamu niyah ! ”kenapa Mas tidak pernah menghubungiku?”. tanyanya pada Syahrial, sementara Syahrial hanya tersenyum dengan pertanyaan itu.

Setelah sholat maghrib mereka menyusuri jalan. ”Ada masalah apa?” Aeniyah membuka pembicaraan. ”Aku dipaksa menikah dengan anak teman bisnis papah, tapi aku minta tunangan dulu!”, Kenapa demikian Niyah...? ”tidak Mas aku ingin....sama....sama...” ”Sama siapa Niyah ? ”belum lagi pembicaraan itu selesai sedan silver berhenti di depan mereka. ”Niyah.....aku mencarimu kemana-mana” ternyata suara Bapak Wijaya yang kini sudah menarik tangan Aeniah untuk masuk ke mobil, sebenarnya Syahrial ingin menahan namun apalah daya ia tak bisa berbuat apa hanya desah nafasnya yang keluar dengan nada sedih, namun Syahrial mengerti dengan sikap Aeniyah kepadanya dengan penuh lelah Syahrialpun kembali ketempat kostnya.

Aeniah telah sholat Isya, angin menembus jendela kaca dan sinar bulan melambai-lambaikan mewarnai langit. ”Non... tentu senang tiga hari lagi tunangan, dan seminggu kemudian menikah” namun Aeniah tak perduli dengan pembicaraan pembantunya itu dan dia mulai menulis surat untuk Syahrial dan langsung dikirimkan ke Syahrial lewat supir pribadinya malam itu juga.

Ketika malam ku gelisah, ketika siang membayang. Di hadapanmu diri ini hanya seonggok daun terombang-ambing angin. Tak pernah tersirat di benak, relung kalbu ini menaut parasmu nan elok nan nyata nan tumbuh bak disiram tetes-tetes air surga. Tak kuasa kutahan walau membayang rasa kecewa.

Syahrial tak bisa berfikir dan dia menenangkan diri, dunia seakan berhenti berputar. Keesokannya dia segera menemui Aeniyah di depan rumahnya yang berjarak 4 km dari tempat kostnya “kenapa Aeniyah menulis kata-kata seperti itu?” “Aku hanya menurutkan kata hati.” Memang aku akan di tunangkan namun bilakah ungkapan perasaanku itu salah, walau di sisi lain jika aku tak setuju papah harus ganti rugi sementara perusahaan papah dalam kebangkrutan”. Jelas Aeniyah pada Syahrial “Jadi kau dijual, lalu kau mau?”. “Enggak tau mas yang jelas aku adalah wanita yang sangat lemah dengan dilema ini, aku takan menanti jawaban dari Mas karena aku tahu Aminah lebih berhak dari pada aku..... “Aeniah..! ga usah ngomong itu dia telah kuanggap sebagai adik sendiri, seperti halnya Aeniah, sebaiknya Aeniyah jangan menaruh hati lagi kepadaku, dan kita sangat berbeda”. “Sudahlah Mas aku enggak ada waktu untuk beradu argumen atau mengurusi semua ini, bagiku juga ini sangat mustahil”. Aeniyah tak perduli, Ia segera bergegas, meninggalkan Syahrial yang masih sendirian, Dan tanpa Syahrial sadari dia sudah disperhatikan oleh algojo-algojo bapak Wijaya. Melihat Aeniyah sudah pergi mereka langsung menghampiri Syahrial dan langsung memukulnya dengan balok, mendapat serangan mendadak Syahrial tak bisa menghindarinya hingga tak ayal lagi dia langsung jatuh tersungkur, namun anehnya mereka membawa Syahrial yang terluka itu kerumah sakit.

Jantung Syahrial seakan berhenti memompa darah. Pembuluh darahnya seolah pecah Syahrial tak ingat apa-apa lagi. Jiwanya seperti terpendam kedalam samudra atlantik. Fikirannya mulai membelah vegetasi ilusi melayang kedalam pulau tak bertuan. Angin yang merangkul jiwanya seakan ingin mengeluarkan seluruh tulang-tulangnya, Angannya melayang menembus mega, terbawa angin musnah bersama mentari. Raja siang telah membangunkannya. burung-burung melambaikan sayapnya. Pepohonan meliuk-liuk di kejauhan dan air bak bertaburan emas tersiram surya. Alam nan indah molek permai, saat dia mulai membuka matanya nampak terdengar olehnya suara sorang lelaki “Sudah siuman jagoan?” Sapa seseorang tinggi besar yang berdiri di hadapannya dengan sombong “Emangnya aku mati?.” “Ya, karena sudah dua hari ini kamu pingsan, dan sekarang kamu boleh pulang! Syahrial belum mengerti dengan apa yang terjadi. Sesaat dia tertegun dan barulah dia sadar bahwa dia berada di rumah sakit Jakarta, dan Syahrialpun langsung inget dengan orang yang berada di sisinya itu, yang tak lain orang yang telah memukulnya dengan balok dua hari yang lalu. “E...e apakah aku sudah boleh pulang ?” “Silahkan kamu pulang dan inget jangan coba-coba dekati Aeniyah....atau datang lagi ke sini, Rumah sakit sudah kami bayar, dan ini buat ongkos kamu pulang, ingat ini belum seberapa, dan kalau kamu masih berada di tempat ini maka saya akan dorr kamu..... mengerti !! kata orang tinggi besar itu sambil mengeluarkan pistol dari dalam jaketnya.

Matahari menyimbulkan sinarnya di atas daun-daun, kabut-kabut masih mengiring pagi. Di meja Aeniyah menemukan kwitansi pembayaran rumah sakit atas nama Syahrial, kini indah binar matanya dibasahi titikan air mata dan suaranya mulai parau, dan langsung memeluk Mamahnya. “......Dia yang menolongmukan nak, dia memang dirawat di rumah sakit?”. Tanpa fikir panjang Aeniyah segera menuju garasi dia langsung membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit, sambil menangis dia mencari ruangan yang tertera di surat tanda terima itu namun Aeniyah menemukan ruangan yang kosong dan kembali dia masuk ke ruangan lain mencari dan tetap tak membawa hasil, Hingga dia berpapasan, dengan dr. Tanpa ragu Aeniyah langsung bertanya “Dok, kalau pasien yang di ruangan ini mana yah...? “Yah, kebetulan saya sendiri dokternya, pagi tadi dia pulang, dan dia hanya menitipkan ini untuk dikirimkan ke alamat yang tertera di amplopnya.

Aeniyah langsung merebut amplop dari tangan dokter dan langsung menagis, karena benarlah alamat amplop itu adalah alamat rumahnya bahkan tertulis namaya dengan jelas, “Syahrial....Syahrial...tangis Aeniyah yang mulai mengisi ruangan”. Aeniyah meninggalkan rumah sakit itu tanpa pamit dengan membawa surat yang Syahrial tuliskan untuknya, dia bawa mobilhya menuju ke tempat kerjanya, hingga satu jawaban yang mengecewakan telah mengiris hatinya, bahwa Syahrial telah pergi beberapa jam yang lalu. Dia datangi masjid yang biasa Syahrial sholat dan mengaji, namun hasilnya tetap nihil.

Saat langkah mulai beranyun dengan rasa kecewa Aeniyah mulai membuka isi surat yang ditulis dengan rapih itu.

Aeniyah........,

Telah ku labuhkan jangkar nasibku dari Jawa ke daratan Andalas bahkan Borneo, namun raga ini hanya mussafir yang menapaki tanah-tanah basah dalam pelukan rimba. Jiwa ini datang padamu bak angin berebah, melayang bak punai. Hasrat jiwaku mengukir dalam relung kalbumu. Yang kukirim lewat dzikir dan doa. Keluh kesah kutulis di atas sajadah dengan derai airmata, meski sayapku tercecer namun tak tersirat bias kecewa. Walau hakikat kita tak menyatu, jiwamu ada dalam jiwaku. Telah ada dalam kitab Badruzaman tentang cinta Malakatulbudur, telah tersiar kabar dari Timur Tengah tentang Khais dan Laela, Mereka semua ikhlas dengan cinta yang tak menyatu di dunia. Dan menjadi simbol Kasih Tak sampai.

Aeniyah.....sayang, Jadilah bintang yang bersinar dengan sendirinya, jangan jadikan dirimu seperti rembulan yang bercahaya dari mentari.

T A M A T


Tidak ada komentar:

Posting Komentar